Balci (2004) menyatakan bahwa
pebelajar memasuki ruang belajar telah membawa konsepsi-konsepsi yang akan
membentuk suatu pengetahuan, terkadang pengetahuan tersebut tidak konsisten dan
tidak dapat diterima secara ilmiah. Pada umumnya konsepsi siswa berbeda dengan
konsepsi ilmuwan. Konsepsi ilmuwan bersifat ilmiah, lebih canggih, lebih
komplek, dan lebih banyak melibatkan hubungan antar konsep. Jika konsepsi siswa
bertentangan dengan konsepsi para ilmuwan, maka disebut miskonsepsi (Sadia,
1996; Pabuçcu & Geban, 2006). Miskonsepsi digambarkan sebagai sebuah ide
dengan pengertian yang tidak sesuai secara ilmiah menyangkut fenomena maupun
benda yang dikonstruksi berdasarkan pengalamannya (Thompson & Logue, 2006). Champagne (dalam Rebich & Gautier, 2005) mendefinisikan
miskonsepsi sebagai ciri umum pengetahuan awal pebelajar, khususnya dalam
pembelajaran sains dan terbukti dapat menghambat terbentuknya pengetahuan baru
yang ilmiah.
Miskonsepsi
siswa sering muncul karena mereka hanya menggunakan pola pikir intuitif atau
akal sehat (common sense) dan tidak
menggunakan pola berpikir ilmiah dalam menanggapi dan menjelaskan permasalahan yang mereka hadapi. Bahkan, ini sering
terjadi bahwa dalam situasi formal di sekolah. Misalnya, siswa ketika ujian menggunakan konsepsinya yang ilmiah untuk memecahkan permasalahan. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan masalah-masalah dalam hidupnya sehari-hari (dalam
situasi tidak formal), mereka kembali menggunakan konsepsi-konsepsi yang tidak ilmiah (Gilbert et al. dalam Sadia, 1996). Miskonsepsi
biasanya tampak materi gaya, gerak, energi, usaha, panas, temperatur, massa,
dan berat dalam pembelajaran sains (Kurnaz, 2008).
Miskonsepsi
merupakan pengetahuan
yang tidak sesuai,
tidak memiliki manfaat luas, bersifat kokoh, dan kontra terhadap kenyataan sebenarnya
(Hewson, 1992). Miskonsepsi
tidak berkembang dengan sendirinya, melainkan dapat pula disebabkan oleh metode
pembelajaran yang diberikan sebelumnya, melalui buku yang dibaca, dan miskonsepsi
tersebut sangat susah untuk dirubah (Küçük et al, 2005; Özdemir et al,
2007; Suparno, 2005). Miskonsepsi
banyak sekali muncul pada masa anak-anak dan sangat susah dipecahkan sampai mereka mendapatkan
suatu aktivitas yang terstruktur. Meskipun
pebelajar memiliki umur yang berbeda, mereka
cenderung mempunyai kesamaan miskonsepsi terhadap topik-topik tertentu (Balci, 2004).
Miskonsepsi siswa sangat
resisten terhadap pembelajaran,
karena setiap orang membangun
pengetahuan “persis” dengan pengalamannya (Bodner dalam Sadia, 1996). Sekali pengetahuan dibangun,
maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut salah, dan tidak cukup
hanya memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi tersebut. Sadia (1996)
mengemukakan suatu cara untuk mengubah miskonsepsi dengan jalan membangun
konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan pengalaman yang ditemuinya.
Perubahan miskonsepsi siswa menuju konspesi ilmiah juga dapat dilakukan dengan
menurunkan “status pengetahuan” siswa yang miskonsepsi dari fruitful menjadi plausible, lalu menjadi unintelligible.
Menerapkan
metode konflik kognitif merupakan suatu cara yang dapat menggoyahkan gagasan siswa, sehingga mereka ragu dengan kebenaran
gagasan yang dimilikinya. Siswa akan lebih mudah memperbaharui gagasannya yang
miskonsepsi menjadi konsepsi
ilmiah pada kondisi seperti itu. Metode umum yang sering dipergunakan untuk
merangsang konflik kognitif adalah analogi. Analogi dapat menimbulkan rasa tidak puas dalam
diri siswa atas pemahaman yang
dimilikinya (Dilber & Duzgun, 2008).
Miskonsepsi
juga disebabkan oleh karena siswa menginterpretasikan apa yang gurunya presentasikan kepada mereka
(pada basis konsepsi prapembelajaran mereka) yang secara total berbeda dari apa
yang diharapkan oleh guru tersebut (Suparno, 2005). Terdapat tiga cara yang
mungkin dapat digunakan untuk mengetahui miskonsepsi, yaitu tes tulis bentuk
uraian, interview klinis, dan peta
konsep (Sadia, 1996). Tes tulis bentuk uraian akan dapat memberikan gambaran
konsepsi atau argumentasi mereka terhadap situasi yang diamati. Upaya interview klinis merupakan
aktivitas dengan keahlian tertentu, sehingga terungkap gagasan-gagasan orisinil
siswa dengan baik. Strategi peta konsep cukup efektif mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa
dalam mengaitkan konsep-konsep yang ada.
Refrensi:
Balci, S. 2004. A
science lesson designed according to 5E model with the help of instructional
technology. International Educational
Technologies Conferences. 1. pp. 89 – 93.
Sadia, I W. 1996. Pengembangan
model belajar konstruktivis dalam pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Disertasi (tidak diterbitkan).
Program Pascasarjana: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung.
Pabuçcu, A. & Geban, Ö. 2006. Remediating misconceptions
concerning chemical bonding through conceptual change text. H.U. Journal of Education. 30. pp. 184 – 192.
Thompson, F. & Logue, S. 2006. An exploration of common student misconceptions
in science. International
Education Journal. 7(4). pp. 553-559.
Rebich, S. & Gautier. 2005. Concept mapping to reveal
prior knowledge and conceptual change in a mock summit course on global climate
change. Journal of Geoscience Education. 5. pp. 355 – 365.
Kurnaz, M. A. 2008. Using different conceptual change
methods embedded within the 5E model: a sample teaching for heat and
temperature. Journal of Physics Teacher Education Online. 5(1). pp. 3 –
10.
Hewson, P. W. 1992. Conceptual change in science teaching and teacher education. Paper. Presented at a meeting on “research and curriculum development in
science teaching” Ministry for Education and Science. Madrid, Spain, June 1992.
Küçük, M., Çepni, S., Gökdere, M. 2005. Turkish primary school students’ alternative
conceptions about work, power, and energy. Journal of Physics Teacher
Education Online. 3 (2). pp. 22 –
28.
Özdemir, G., Clark, D. B. 2007. An Overview of Conceptual Change
Theories. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology
Education. 3(4). pp. 351 –
361.
Suparno, P. 2005. Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan
fisika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dilber, R. & Duzgun, B.
2008. Effectiveness of analogy on
students’ success and elimination of misconceptions. Latin American Journal Physics Education. 2 (3). pp. 174 – 183.
0 Response to "Miskonsepsi (Alternative conception) Pada Pembelajaran"
Post a Comment